Kamis, 27 Oktober 2011

Gunung Pengsong, Bukan Tempat Wisata Biasa

OBJEK WISATA Gunung Pengsong, di Kabupaten Lombok Barat, NTB, bisa dibilang bukan tempat wisata biasa. Ada banyak hal yang bisa dinikmati pengunjung di sini. Selain suasana alam dan panorama yang masih asri, objek wisata ini juga kaya nilai sejarah dan budaya.

Gunung Pengsong hanya sebuah bukit batu hitam dengan rindang pepohonan, dengan ketinggian puncak sekitar 200 meter diatas permukaan laut (mdpl). Tapi yang menarik, dari puncak Gunung Pengsong, kita bisa melihat dan menikmati panorama indah Kota Mataram dan Lombok Barat dari berbagai arah.
13121003962041979492Di puncak ini pula, terdapat sebuah tempat peribadatan umat Hindu, Pura Gunung Pangsung, yang konon merupakan Pura pertama dan tertua di Pulau Lombok. Gunung Pengsong terletak di Desa Kuripan, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, berjarak sekitar 10 Km ke arah Selatan dari Bandara Selaparang, Mataram. Menggunakan taksi hanya sekitar 15 menit dari bandara, dengan biaya sekitar Rp50ribu. Kawasan seluas lebih dari 11 hektare yang ditetapkan sebagai salah satu objek wisata sejak tahun 1996 ini, ibarat miniatur hutan. Banyak jenis pohon rindang, mulai albasiah hingga beringin berusia ratusan tahun. Kawanan kera coklat keabu-abuan, berhabitat di sini, dengan segala tingkah laku mereka yang menggoda pengunjung yang datang.

”Senang sekali melihat monyet-monyet ini berebut makanan, lucu,” kata Hariyadi (43), wisatawan domestik dari Surabaya, Jawa Timur. Heriyadi bersama istri dan tiga anaknya menghabiskan waktu empat hari, untuk berlibur ke Lombok, selama musim liburan akhir tahun. Gunung Pengsong menjadi salah satu tujuan wisatanya, selain pantai Senggigi yang sudah terkenal, dan sentra kain tenun di Sukarara, di Lombok Tengah.

Seperti biasa, jika ada pengunjung yang datang, ratusan ekor kera langsung menyambut dan mengelilingi mereka, ketika tiba di pelataran depan kawasan Gunung Pengsong. Monyet-monyet ini menanti diberi kacang atau jajanan yang dibawa. Tingkah mereka menggelitik, ada yang berebutan makanan dan kejar-kejaran, ada yang hanya berani menanti di kejauhan. Mulai dari pejantan besar, hingga monyet betina yang mengendong bayinya. Monyet-monyet ini juga akan selalu mengikuti pengunjung yang hendak mendaki puncak Gunung Pengsong, sepanjang perjalanan. Tapi, sebelum masuk ke kawasan, pengunjung pun harus taat dengan peraturan yang ada. Misalnya, pengunjung akan diberi kain selendang berwarna kuning untuk diikat di pinggang sebelum masuk ke kawasan. Selain itu, kaum perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk ke kawasan ini. Sebab, kawasan wisata ini merupakan tempat suci bagi umat Hindu, dan masih digunakan untuk beribadah. Teduh dan sejuk, adalah kesan pertama ketika masuk ke kawasan wisata Gunung Pengsong. Beragam jenis pohon tumbuh rindang, beberapa diantaranya beringin berusia ratusan tahun dengan akar-akar gantung yang tebal.
Ada mata air yang bisa dijumpai sebelum mulai mendaki. Lokasi mata air ”Tirta Mumbul Sari” biasanya digunakan umat Hindu tahapan pertama beribadah, sebelum ke tempat suci Melanting, dan Pura Gunung Pangsung yang letaknya lebih tinggi.

Meski sepanjang pendakian sudah tersedia undak-undak dari batu dan plesteran semen, untuk mencapai puncak Gunung Pengsong ternyata bukan hal mudah bagi yang tidak biasa mendaki. Toh setelah mencapai puncak, rasa lelah pasti terobati dengan panorama indah yang bisa dinikmati. Bangunan Pura Gunung Pangsung nampak anggun dengan relief-relief uniknya. Pura nampak bersih terawat, meski pun sudah berusia ratusan tahun. Dari puncak ini, pemandangan persawahan dan pemukiman hingga perairan teluk Lembar bisa terlihat di sisi Selatan. Ke arah Timur, puncak Rinjani bisa terlihat jika cuaca sedang cerah bersahabat, begitu pun ke arah Barat pesona Gunung Agung di Bali tak luput dari pandangan.
Gunung Pengsong sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya sejak 1996 silam. Sejak saat itu pula Pemerintah Lombok Barat menetapkannya menjadi salah satu objek wisata alam daerah.

Menurut Pemangku Pura Gunung Pangsung, Jero Mangku Semadiyatna, Pura ini berdiri sekitar tahun 1514 oleh Ida Betara Wayan Sebali, seorang pandita Hindu dari Geria Pendem, Karangasem, Bali.
”Kalau dari sisi sejarah, Pura ini merupakan yang paling tua di Lombok,” katanya.
Hingga kini, umat Hindu yang ngaturang atau beribadah di tempat suci ini bukan hanya datang dari Lombok, tetapi juga dari Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.
Ada yang unik saat beribadah di Pura ini. Umat yang datang membawa banten (sesajian sembahyang) untuk ngaturang, harus jeli jika tak ingin isi banten direbut kawanan kera sebelum dipersembahkan.
”Makanya kami diberi ketapel karet ini oleh pemangku Pura. Untuk menakut-nakuti monyet,” kata I Nyoman Gatra, yang beribadah di Pura Gunung Pangsung.
Nyoman mengantarkan pamannya, I Wayan Ngarba, dari Bangli, Bali, yang saat itu ngaturang di Pura Gunung Pangsung.
Tapi jangan khawatir. Sebab, ketapel digunakan tanpa batu sehingga tidak menyakiti monyet-monyet yang lucu itu. Hanya dengan suara hentakan karetnya, monyet pasti menghindar dan lari menjauh.
Bila monyet-monyet datang hendak mengambil buah dan jajanan yang sedang dihaturkan dalam ibadah, karet ketapel pun ditarik dan dihentakkan. Monyet pun berlarian mendengar suara ketapel itu.
”Kalau lungsuran (Isi banten yang sudah selesai dipersembahkan dalam ibadah) tidak mengapa, kalian boleh makan,” kata I Wayan Ngarba, sambil memberikan buah-buahan dan jajan untuk kawanan monyet, setelah selesai beribadah di Pura Gunung Pangsung.
Selain Pura Gunung Pangsung yang bernilai sejarah sekaligus penanda masuknya umat Hindu dari Bali mula-mula ke Lombok, kawasan wisata Gunung Pengsong juga menandai masa penjajahan tentara Jepang di Pulau Lombok.
Konon, nama Gunung Pengsong diambil dari akronim Kepeng Song atau uang bolong. Ini uang logam yang digunakan sebagai alat tukar di zaman penjajahan dulu.
”Dulu saat tentara Jepang pergi, uang bolongnya konon banyak ditanam di kawasan ini. Makanya namanya Gunung Pengsong dari kata Kepeng Song,” kata Jero Mangku.
Kawasan wisata ini memang menarik untuk dikunjungi. Hanya saja, perhatian Pemda Lombok Barat nampaknya masih kurang, untuk menata kawasan ini lebih baik lagi.
Bangunan portal yang biasanya digunakan untuk karcis masuk di objek wisata, nampak rusak dan tidak terawat lagi di depan pintu masuk kawasan Gunung Pengsong.
Meski tersedia kamar mandi umum, namun di kawasan ini sulit ditemukan tempat sampah, sehingga banyak tercecer sampah bungkusan makanan dan minuman yang dibawa pengunjung.
Kurangnya perhatian Pemda ini, diakui juga oleh pemangku Pura Gunung Pangsung, Jero Mangku Semadiyatna.
”Kami sudah bersurat ke Pemda Lombok Barat melalui Dinas Periwisata, agar disediakan tempat sampah. Kami hanya minta empat unit tempat sampah, tai sampai sekarang tidak ada responsnya,” katanya.
Sejak 2002 silam, Jero Mangku Semadiyatna bersama dua pemangku lainnya, Dewa Mangku Kawi, dan Gusti Mangku Dharma diberi tugas tambahan oleh Pemda Lombok Barat untuk bertanggungjawab masalah kebersihan di kawasan ini.
Selain melayani umat yang beribadah, mereka juga yang bertugas menyapu dan membersihkan sampah sisa-sisa makanan yang dibawa pengunjung.
Padahal, pengunjung kawasan ini sangat banyak, mulai dari wisatawan lokal, domestik, sampai mancanegara, selain umat Hindu yang datang beribadah.
Lokasi Gunung Pengsong yang dekat dengan kawasan wisata pantai Kuranji - salah satu objek wisata pantai di Lombok Barat - membuat banyak pengunjung pantai yang turut mampir ke Gunung Pengsong.
”Kalau dipikirkan berat juga tugas kami ini, membersihkan kawasan yang luasnya lebih dari 11 hektare ini. Sampai sekarang kami yang membersihkan, tidak ada petugas kebersihan khusus dari Pemda. Kami pun bekerja hanya berbekal bhakti saja, tidak ada perhatian Pemda, meskipun kami diberi tugas ini sejak 2002 silam,” katanya.
Seingat Jero Mangku, Bupati Lombok Barat H Zaini Arony pernah menjanjikan bantuan biaya untuk kawasan wisata ini, ketika Bupati Zaini syuting film ”Misteri Gunung Rinjani”, awal tahun 2010 lalu. Tapi, entah kenapa, sampai sekarang janji itu belum terwujud juga.
”Padahal kami hanya meminta empat buah tempat sampah besar saja, untuk menampung sampah-sampah pengunjung,” katanya.
Lombok memang pulau indah dengan beragam objek wisata yang bisa dinikmati. Mulai dari pantai Senggigi, gunung Rinjani, rangkaian Gili-Gili, bahkan banyak bangunan Pura indah seperti Pura Batu Bolong di Senggigi, Pura Lingsar di Lombok Barat, dan juga Pura Gunung Pengsong ini.
Akulturasi budaya membuat sejumlah pemandu wisata berslogan ”di Bali anda tidak bisa melihat Lombok, tapi di Lombok anda bisa melihat Bali” untuk menggait tamu mereka.
Tak heran jika akhirnya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat berani memprogramkan pariwisata sebagai andalan kedua setelah pertanian. Kini pemerintah daerah tengah giat mempromosikan potensi wisata Lombok dan Sumbawa dalam program Visit Lombok Sumbawa 2012 dengan target mendatangkan satu juta wisatawan per tahun.
Tapi sayang, di sisi lain pemerintah daerah seolah mengabaikan perhatian untuk objek-objek wisata yang potensial seperti Gunung Pengsong.*

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/07/31/gunung-pengsong-bukan-tempat-wisata-biasa/

Pura Agung Gunung Tambora (Gunung Tambora, Sumbawa, NTB)

Pura Agung Tambora ini sangat terkait dengan Perjalanan Danghyang Nirarta dari kerajaan Daha menuju Tambora sekitar tahun 1478-1560. Hal itu menurut Dr.Soegioanto Sastrodiwiryo dalam bukunya berjudul: Danghyang Nirarta: Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha ke Tambora, jauh sebelum Gunung Tambora meletus (1815) pada bulan Phalguna 1532 Masehi.

Danghyang Nirarta yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Mojok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa.

Kedatangan Danghyang Nirartha disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Nirartha terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud.
Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.

Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Niratha melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini.

Di samping itu,  adanya hasrat yang besar  untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya  yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa.

Setelah armada Majapahit  di bawah pimpinan  Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Nirartha berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya.

Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.

Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil.

Selanjutnya Danghyang Nirartha mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.

Tanjung Menangis
Setelah dirasa cukup menunaikan tugas sucinya, serta puas berada di daerah ini, lanjut Jro Mangku Gede Tambora yang mantan pengerajin perak dan emas ini,  beliau memutuskan kembali ke Bali. Namun, masyarakat di sana merasa sangat kehilangan dan sedih ketika beliau mengutarakan niatnya itu, bahkan sejumlah warga bersikeras agar beliau tetap berada di sana, tetapi itu tidak mungkin dilakukan. Akhirnya, dengan berat hati, masyarakat itu melepas kepulangan beliau dengan rasa haru dan sedih.

Sebagai rasa hormat dan bhaktinya kepada beliau, masyarakat lalu mengantar beliau beramai-ramai sekaligus berpisah di sebuah tanjung yang kemudian tanjung itu diberi nama Tanjung Menangis. Dinamakan seperti itu karena kepergian beliau diiringi dengan isak tangis.

Selanjutnya beliau kembali melalui pantai utara Lombok, dan pada April Icaka 1455 tiba di pelabuhan Kusamba serta langsung menuju ibukota Gelgel. Sampai di Bali, anak penghulu yang dibawa itu diberi nama Denden Sari. Setelah dewasa Denden Sari kemudian dinikahkan dengan cucunya Danghyang Nirartha bernama Ida Ketut Buruan Manuaba. Merekalah kemudian menurunkan Klen Manuaba sampai saat ini.
Lebih jauh Jro Mangku yang dikenal kaya pengalaman ini menjelaskan, Pura Gunung Tabora yang terletak di kaki Gunung Tambora tepatnya 146 Km dari Kota Dompu ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang ada di NTB.  Pura ini sangat dikeramatkan umat Hindu di Kabupaten Bima, Dompu, dan Sumbawa serta penduduk lain di sekitar pura.

Setiap Pujawali yang jatuh pada Purnamaning Sasih Kasa, umat Hindu di tiga kabupaten dimaksud berduyun-duyun tangkil ngaturang sembah bakti memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, serta permohonan lainnya. Banyak permohonan pamedek yang dilakukan dengan penuh ketulusan dikabulkan oleh beliau, sehingga tak heran jika seiring berjalannya waku, terutama pada waktu dan hari-hari tertentu pura ini ramai dikunjungi umat Hindu bahkan umat non-Hindu dengan tujuan tertentu.

“Pura ini dibangun atas petunjuk Ida Peranda Gede Putra dari Griya Cempaka, Singaraja yang sedang melaksanakan tirtayatra ngetut pemargin Danghyang Nirarta ke Pulau Sumbawa. Lokasi pura ditentukan melalui petunjuk yang diterima Ida Peranda melalui konsultasi niskala dengan beliau yang berstana di pura ini, akhirnya di sinilah tempat yang paling tepat,” ujar Jro Mangku Gede Tambora menegaskan seraya menambahkan, bahwa lokasi di mana pura ini didirikan, diyakini sebagai tempat payogan Danghyang Nirartha saat melaksanakan dharmayatra di daerah ini.

http://baliaga.wordpress.com/2010/10/28/pura-agung-gunung-tambora/

Rabu, 26 Oktober 2011

Sang Nyoman Suwisma, Ketua PHDI Masa Bakti 2011 - 2016

Sang Nyoman Suwisma
Tempat Tanggal Lahir : Bangli 10 Mei 1949
Angkatan : 1971
Kesatuan : Infanteri – Baret Merah
Pangkat Terkahir Militer Aktif : Mayor Jenderal TNI
Jabatan Terakhir Militer : Panglima Komando Daerah Militer XVII/Trikora – Jayapura Karir
Kolonel :
Komandan Komando Resort Militer 043/Garuda Hitam – Lampung
Brigadir Jenderal :
Komandan Sekolah Calon Perwira TNI-AD – Bandung
Mayor Jenderal :
Panglima Divisi I/Kostrad – Cilodong
Panglima Komando Daerah Militer VI/Tanjungpura – Balikpapan
Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat – Jakarta
Asisten Teritorial KASUM TNI – Jakarta

Senin, 24 Oktober 2011

Emansipasi Wanita Pada Masa Kerajaan Hindu di Indonesia

Pada masa Hinduisme di Indonesia, sebelum masuknya Islam, kehidupan perempuan lebih terbuka. Beberapa laporan dan prasasti pada masa itu menunjukkan bahwa banyak perempuan yang mempunyai jabatan tinggi dan memegang posisi penting. Dari laporan Xin Tangshu diketahui bahwa pada tahun 674, kerajaan Heling mempunyai ratu perempuan yaitu Sima (Xi-mo). Di Jawa Tengah, ditemukan prasasti berangka tahun 842 M, yang dinamakan prasasti Teru I Tepusan, yang menyatakan dibukanya lahan persawahan milik Sri Kahulunan, seorang permaisuri raja yang berkuasa (Lombard, 2000:92). Dari Jawa Timur, ditemukan prasasti yang lebih baru, yang memuat tentang dibukanya yayasan oleh Ratu Rakryan Binihaji Parameswari Dyah Kebi, di bawah pemerintahan Sindok, dan satu lagi oleh Ratu Maharaja Nari pada masa menjelang pemerintahan Airlangga. 

Sementara itu, prasasti Kinawe berangka tahun 928 M, yang ditemukan di Kediri menyebutkan tentang didirikannya tanah milik oleh perempuan bangsawan bernama Dyah Muatan (Lombard, 2000:92).
Semasa kejayaan Majapahit, juga ditemukan beberapa catatan yang menyebutkan peranan kaum perempuan. Catatan pertama berasal dari kitab Negara Kertagama, yang menyebutkan tentang peran Rajapatmi (isteri R. Wijaya, sebagai penghubung antara Singasari yang merupakan cikal bakal dari kerajaan yang lebih besar, Majapahit). Semasa Majapahit memasuki jaman keemasan, kerajaan ini juga pernah diperintah oleh seorang ratu perempuan yakni Ratu Tribhuwana (ratu sebelum Hayam Wuruk). Ini menunjukkan kaum perempuan memegang peran politik pada zamannya (Lombard, 2000:93). Tokoh-tokoh perempuan juga banyak muncul dalam kedewaan Hindu-Jawa: Dewi Sri dan Durga, atau sering juga disebut Uma. 

Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa pada masa itu masih ada ruang-ruang terbuka bagi kaum perempuan untuk menunjukkan jati dirinya, bahkan ada yang memegang jabatan politik—walaupun ini tidak bisa dijadikan ukuran untuk melihat tidak adanya penindasan terhadap kaum perempuan. Sistem Hindu, walaupun ada pengkastaan, masih memberikan tempat kepada perempuan untuk berkiprah. 

Sebagai gambaran lain, pada mitologi kuno dikenal adanya Dewi Sri, yaitu dewi padi yang merupakan simbol pemberi kehidupan pada rakyat. Sampai saat ini, di beberapa desa di Jawa, kepercayaan tersebut masih terus dianut. Sedangkan candi Prambanan, yang di dalamnya terdapat sebuah patung perempuan, merupakan contoh lain dari penghormatan kepada kaum perempuan pada masa itu. Menurut mitos, patung itu adalah Roro Jongrang yang dikutuk Bandung Bondowoso. Akan tetapi, sebenarnya itu adalah patung Durga, salah satu dewi penguasa dunia (Lombard, 2000:93). Gambaran belum adanya bias gender juga bisa kita lihat pada masa Majapahit. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan leluasa seperti halnya kaum laki-laki. Mereka secara bersama-sama berperan sebagai pemutar baling-baling ekonomi.

“Orang takkan melihat adanya suami istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun wanita nampak di mana-mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria” (Toer, 2001:22). 

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebelum bangsa Eropa mendengungkan emansipasi, bangsa Indonesia sudah lama mengenalnya. Keterlibatan kaum perempuan dalam kerja ini, secara langsung menunjukkan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan, kecil terjadinya—karena antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama dalam kerja.

Syamsul Barry

Pengajar di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Aktif berkarya seni dan menulis, tinggal di Yogyakarta
 
http://agama.kompasiana.com/2010/06/13/penyebaran-agama-hindu-di-indonesia-kekuasaan-penciptaan-kelas-dan-perempuan/

Selasa, 11 Oktober 2011

Mengenal Lebih Dekat Kyai Lurah Semar Badranaya/Batara Ismaya (Jawa)

Kyai Lurah Semar Badranaya/Batara Ismaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Apa arti nama Semar/Ismaya? MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:

    tidak pernah lapar
    tidak pernah mengantuk
    tidak pernah jatuh cinta
    tidak pernah bersedih
    tidak pernah merasa capek
    tidak pernah menderita sakit
    tidak pernah kepanasan
    tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.

Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

http://www.tembi.org/wayang/semar.htm

Senin, 10 Oktober 2011

Pura Bukit Dharma (Gianyar, Bali) Saksi Masuknya Budaya Hindu Ke Bali

Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?

Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.

Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.

Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali.

Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.
Arca Durga Mahisasura Mardini
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.

Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.

Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.

Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.

Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.

Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. * wiana

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/1/bd2.htm

Kenangan Umat Hindu Yogyakarta Dengan Mbah Marijan

Oleh: Budiana Setiawan, Jakarta

Selama berhari-hari sejak tanggal 25 Oktober 2010 Gunung Merapi di Utara Yogyakarta meletus, dan mencapai puncak kedahsyatannya pada tanggal 6 November 2010. Letusan Gunung Merapi oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVBMG) barn dinyatakan mereda pada pertengahan Nopember 2010. Dalam letusan dahsyat tersebut korban jiwa mencapai ratusan orang, karena tersapu awan panas. Salah satu korban jiwa yang meninggal adalah Mas Penewu Suraksohargo atau yang lebih dikenal dengan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.

Masyarakat Yogyakarta menganggap Gunung Merapi dan Laut Selatan simbol kosmologi yang membentuk poros sakral utara-selatan, dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta sebagai pusatnya. Konsep poros Gunung Merapi Laut Selatan ini di Bali lebih dikenal dengan konsep Segara-Gunung. Untuk menyelaraskan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dalam konsep Tri Hita Karana, Keraton Yogyakarta tetap melakukan upacara Labuhan setiap tahunnya, baik ke Laut Selatan maupun Gunung Merapi. Untuk itu Keraton Yogyakarta menempatkan juru kunci di masing-masing tempat itu, yaitu Mbah Maridjan sebagai juru kunci tersebut adalah memimpin upacara Labuhan dari Keraton Yogyakarta.

Kesamaan konsep Segara Gunung antara Keraton Yogyakarta
dengan kedua juru kunci tersebut, khususnya dengan Mbah Maridjan sejak beliau diangkat sebagai juru kunci oleh almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1982. Namun perkenalan secara intensif dengan Pengurus Parisada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1995, ketika dilaksanakan Upacara Peneduh Jagad di Yogyakarta. Pada tahun 1995, beberapa orang rombongan dari Bali menyampaikan ke Parisada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan Upacara Peneduh Jagad, dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan untuk masyarakat di Jawa dan Bali. Lokasi-lokasi yang ditunjuk untuk menjadi tempat upacara adalah Gunung Merapi, Pantai Parangkusumo (Bantul), Pantai Sundak (Gunung Kidul), Candi Prambanan, dan pura-pura yang tersebar di seluruh DIY. Untuk upacara di Gunung Merapi, dipandu Mbah Maridjan sendiri. Pada waktu itu utusan dan Parisada Propinsi DIY dan rombongan dan Bali menghadap Mbah Maridjan untuk memohon izin mengadakan upacara Labuhan di Gunung Merapi. Mbah Maridjan menyambut hangat kedatangan mereka, bahkan diminta untuk bermalam di rumahnya di Dusun Kinahrejo. Pada malam hari diadakan kenduri untuk untuk mengantar upacara Labuhan yang dipersiapkan oleh Mbah Maridjan sendiri. Kesokan harinya rombongan melanjutkan perjalanan menuju tempat Labuhan di lereng Merapi. Ketika itu cuaca berubah cerah, setelah semalaman turun hujan lebat terus-menerus. Menurut Mbah Maridjan, hal ini merupakan pertanda bah a kehadiran umat Hindu untuk mengadakan upacara Labuhan diterima dengan baik oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa tersebut di atas merupakan awal perkenalan Pengurus Parisada Propinsi DIY dan umat Hindu di Bali dengan Mbah Maridjan. Selanjutnya, setiap ada umat Hindu yang ingin ke Gunung Merapi untuk mengadakan upacara selalu dipandu oleh Mbah Maridjan. Mbah Maridjan juga memberi petunjuk tata cara pengambilan tirta dan

mata air di lereng Merapi, yang disebut dengan tirta Tuk Pitu (tujuh mata air). Ketujuh mata air tersebut kemudian dibangun oleh umat Hindu, dengan membuat tujuh pancuran. Peresmian pembangunan Tuk Pitu tersebut juga dilaksanakan oleh Mbah Maridjan.

Kini Mbah Maridjan telah berpulang. Beliau meninggal pada usia 83 Tahun. Namun jasa-jasanya tidak hanya dikenang oleh Keraton Yogyakarta, tetapi juga oleh umat Hindu di Yogyakarta.
(Berdasarkan wawancara dengan Bapak IGN Made Berata, mantan Pengurus Parisada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
[WHD No. 528 Desember 2010].

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1794&Itemid=29